Saturday, February 21, 2009

Seribu Rupiah

Siang tadi temanku tiba-tiba menelpon. Makan siang yuk, ajaknya. Oke, jawabku. So she picked me up at the lobby of Jakarta Stock Exchange Building. Selepas SCBD, kami masih belum ada ide mau makan dimana. Ide ke Soto Pak Sadi segera terpatahkan begitu melihat bahwa yang parkir sampai sebrang-sebrang. Akhirnya kami memutuskan makan gado-gado di Kertanegara. Bisa makan di mobil soalnya. Sampai di sana masih sepi. Baru ada beberapa mobil. Kami masih bisa milih parkir yang enak. Mungkin karena masih pada Jumat-an.


Begitu parkir, seperti biasa, joki gado-gado sudah menanyakan mau makan apa, minum apa. Kami pesan dua porsi gado-gado + teh botol. Sambil menunggu pesanan, kami pun ngobrol. So, ketika tiba-tiba ada seorang pemuda lusuh nongol di jendela mobil kami, kami agak kaget."Semir Oom?", tanyanya. Aku lirik sepatuku. Ugh, kapan ya terakhir aku nyemir sepatu sendiri? Aku sendiri lupa. Saking lamanya. Maklum, aku kan karyawan sok sibuk... Tanpa sadar tanganku membuka sepatu dan memberikannya padanya. Dia menerimanya lalu membawanya ke emperan sebuah rumah. Tempat yang terlihat dari tempat kami parkir. Tempat yang cukup teduh. Mungkin supaya nyemirnya nyaman. Pesanan kami pun datang. Kami makan sambil ngobrol. Sambil memperhatikan pemuda tadi menyemir.

Tangannya seperti menyemir secara otomatis. Kadang-kadang matnaya melayang ke arah mobil-mobil yang hendak parkir, (sudah mulai ramai). Lalu pandangannya kembali kosong. Perbincangan kami mulai ngelantur kemana-mana. Tentang kira-kira umur dia berapa, pagi tadi dia mandi apa enggak, kenapa dia jadi penyemir dan lain-lain.

Kami masih makan saat dia selesai menyemir. Dia menyerahkan sepatu padaku. Belum lagi ku bayar, dia bergerak menjauh, menuju mobil-mobil yang parkir sesudah kami. Mata kami lekat padanya. Kami melihatnya mendekati sebuah mobil. Menawarkan jasa. Ditolak. Nyengir.

Kelihatannya dia memendam kesedihan. Pergi ke mobil satunya. Ditolak lagi. Melangkah lagi dengan gontai ke mobil lainnya. Menawarkan lagi. Ditolak lagi. Dan setiap kali dia ditolak, sepertinya kami juga merasakan penolakan itu. Sepertinya sekarang kami jadi ikut menyelami apa yang dia rasakan. Tiba-tiba kami tersadar. Konyol ah. Who said life would be so fair anyway. Kenapa jadi kita yang mengharapkan bahwa semua orang harus menyemir? heheheh

Perbincangan pun bergeser ke topik lain. Di kejauhan aku masih bisa melihat pemuda tadi, masih menenteng kotak semirnya di satu tangan, mendapatkan penolakan dari satu mobil ke mobil lainnya. Bahkan selain penolakan, di beberapa mobil, dia juga mendapat pandangan curiga. Akhirnya dia kembali ke bawah pohon. Duduk di atas kotak semirnya. Tertunduk lesu...

Kemi pun selesai makan. Ah iya, penyemir tadi belum aku bayar. Kulambai dia. Kutarik 2 lembar ribuan dari kantong kemejaku. Uang sisa parkir. Lalu kuberikan padanya. Soalnya setahuku jasa nyemir biasanya 2 ribu rupiah. Dia berkata kalem, "Kebanyakan oom. Seribu saja".

BOOM. Jawaban itu tiba-tiba serasa petir di hatiku. It just dont compute with  my logic! Bayangkan orang seperti dia masih berani menolak uang yang bukan haknya. Aku masih terbengong-bengong waktu menerima uang seribu rupiah yang dia kembalikan. Se-ri-bu Ru-pi-ah. Bisa buat apa sih sekarang? But, dia merasa cukup dibayar segitu.

Pikiranku tiba-tiba melayang. Tiba-tiba aku merasa ngeri. Betapa aku masih sedemikian kerdil. Betapa aku masih suka merasa kurang dengan gajiku. Padahal keadaanku sudah jauh lebih baik dari dia. "Nasibku" sudah sedemikian baik bagiku, tapi perilaku-ku belum seberapa dibandingkan dengan pemuda itu, yang dalam kekurangannya, masih mau memberi, ke aku yang sudah berlebihan.

Siang ini aku merasa mendapat pelajaran berharga. Siang ini aku seperti diingatkan.
Bahwa kejujuran itu langka.

shared by Tonny Winata

No comments:

Post a Comment