Sunday, February 22, 2009

Parabhava Sutta

(Khudakka Nikaya, Sutta Nipatta 18)

Demikian telah kudengar :

Pada suatu waktu, ketika Sang Bhagava berdiam di dekat Savatthi, dalam hutan Jeta, di taman Anathapindika. Pada saat lewat tengah malam, seorang dewa menerangi seluruh hutan Jeta dengan cahayanya yang gilang gemilang, muncul di hadapan Sang Buddha dan setelah memberi hormat ia berdiri di satu sisi, dewa itu mengucapkan syair berikut ini :

1. "Siapakah, duhai Gotama, yang sedang menghadapi kemerosotan? Apakah sang Bhagava berkenan untuk menerangkan sebab musabab dari kemerosotan?"

Laut Mati

Di Palestina ada dua laut. Keduanya sangat berbeda. Yang satu dinamakan Laut Galilea, yaitu sebuah danau yang luas dengan air yang jernih dan bisa diminum. Ikan dan manusia berenang dalam laut tersebut. Danau itu juga dikelilingi oleh ladang dan kebun hijau. Banyak orang mendirikan rumah di sekitarnya.

Laut lain dinamakan Laut Mati, dan sungguh sesuai dengan namanya. Segala sesuatu yang ada di dalamnya mati. Airnya sungguh asin sehingga kita bisa sakit jike meminumnya. Danau itu tidak ada ikannya dan tidak ada sesuatu pun yang sanggup tumbuh di tepiannya. Tak juga ada orang yang ingin tinggal di sekitarnya, sebab baunya sangat tidak sedap.

Pangeran yang bernama Magha

Sang Buddha menceritakan kepada Mahali, apa yang membuatnya menjadi Dewa Sakka. "Mahali, pada masa lampaunya Sakka adalah manusia biasa, seorang Pangeran yang bernama Magha. Pada masa kampaunya Sakka adalah seorang manusia yang pernah memberikan hadiah, maka dia diberi nama Purindada. Pada masa lampaunya, Sakka adalah manusia yang suka beramal, maka dia diberi nama Sakka. Pada masa lampaunya Sakka adalah manusia yang pernah mempersembahkan tempat tinggal, maka dia diberi nama Vasava. Pada masa lampuanya Sakka adalah manusia yang memenuhi tujuh jenis janjinya. "Apakah tujuh janji itu?"

Sejumlah Pedagang Yang Bergaul Dengan Orang Bijak

Dikisahkan pada suatu waktu, ada sejumlah besar pedagang yang sedang berlayar ke samudera dengan sebuah kapal. Ditengah perjalanan, kapal mereka diterjang badai dengan amat dahsyatnya sehingga mengalami kerusakan berat. Bagian dasar kapal bocor dan air sudah mulai masuk ke dalam. Diancam bahaya seperti ini mereka menjadi sangat cemas dan ketakutan.

Masing-masing mencoba mengatasi kejadian yang menegangkan itu dengan cara sendiri-sendiri. Ada yang menangis meraung-raung meratapi 'nasib' yang sedang menimpa diri mereka.

Kepingan Uang Yen

Sebuah kisah yang amat menggugah hati terjadi di propinsi Ciang Si, Kota Nan Chang, pada tahun 1938 bertepatan masa peperangan yang pada saat Presiden Ciang Kai Sek menjabat sebagai komandan laskar di Nan Chang.

Saat waktu luang, banyak tentara pergi berbelanja keperluan sehari-hari. Saat itu mata uang yang digunakan adalah Yen. Kaum wanita yang sudak berusia lanjut dan lemah tampak berjajaran di sepanjang jalan menjual handuk dan kaos kaki bagi keperluan tentara.
Kebaikan yang diperbuat sendiri menjadi teman yang mengikutinya pada waktu mendatang.

Menabur Kebajikan, Menuai Kebaikan

Pada suatu hari seorang pemuda sedang berjalan di tengah hutan, tiba-tiba ia mendengar jeritan minta tolong. Ternyata ia melihat seorang pemuda sebaya dengannya sedang bergumul dengan lumpur yang mengambang, semakin bergerak malah semakin dalam ia terperosok. Pemuda yang pertama tadi dengan sekuat tenaga memberikan pertolongannya, dan dengan susah payah pemuda yang terperosok itu dapat di selamatkan.

Pemuda yang pertama memapah pemuda yang terperosok ini pulang ke rumahnya. Ternyata rumah si pemuda kedua sangat bagus, besar, megah dan mewah... Ayah pemuda ini sangat berterima kasih atas pertolongan yang diberikan kepada anaknya, dan hendak memberikan uang, pemuda yang pertama inimenolak pemberian tersebut. Ia berkata bahwa sudah selayaknya sesama manusia menolong orang lain dalam kesusahan. Sejak kejadian ini mereka menjalin persahabatan.